Lebih Lama Dari Selamanya

 



A short song-fiction story inspired by Sampai Jadi Debu - Banda Neira

Mengenai eksistensi si Tuan Pengagum lukisan-lukisan abstrak dan barisan syair Bapak Sapardi; ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan perihal impak keberadaannya dalam puluhan lembar hidup saya yang biasa-biasa saja. 

Sepertinya, surat ini akan saya simpan di kolong ranjang. Malu rasanya jika terbaca oleh Hara. Ini adalah surat syukurku kepada Tuhan, atas Hara yang telah membersamai saya sampai hari ini dan semoga lebih lama dari selamanya.

Sebab baginya, cinta adalah zat yang tidak bisa diceritakan oleh apa pun dan siapa pun. Bahkan puisi cinta favorit Hara pun tidak. Bagi Hara, cinta lebih dalam dibandingkan bait-bait berima itu. Sementara bagi saya, Hara adalah cinta. Kisah cinta yang memang tidak pernah habis untuk diceritakan, tetapi tidak akan bosan untuk saya ceritakan. Lagi dan lagi. 

Badai Tuan telah berlalu
Salahkah 'ku menuntut mesra?

Bagian Pertama : Tidak Butuh Perkenalan untuk Jatuh Cinta

Binar oranye mulai mewarnai langit, menyapu pantai yang ombaknya beradu perlahan-lahan. Menggoda anak-anak kecil untuk berlarian mengejar ombak, menyikut anak muda yang asik berfoto dengan membasahi celana yang sudah mereka gulung separuh betis. 

Saya menghela napas berat, kesekian kalinya saya di sini tetapi baru ini bersamaan dengan perasaan gelisah. Tidak begitu sulit, hanya tiba-tiba terpikir oleh saya adik-adik yang mulai dewasa tetapi pada masa ayah ibu sudah tidak sekuat dahulu. Namun mirisnya, hari ini untuk yang kesekian kalinya saya gagal dalam wawancara kerja. Lagi. 

Rasanya buku gambar ini sudah tidak membantu. Saya memandangi lembaran sketchbook yang masih polos sejak satu jam yang lalu. Namun, beranjak saya dari posisi duduk tadi tertangkap oleh saya raga laki-laki yang berjalan ke arah saya. Yang ternyata benar, sepasang kaki itu berhenti tepat di hadapan saya. Iris matanya yang gelap menatap lekat pada mata saya, pun dengan bibirnya yang menyunggingkan senyum hangat. 

"Maaf jika lancang, saya sudah sering sekali lihat kamu di sini. Tetapi, baru kali ini saya lihat kamu murung. Kalau kamu enggak keberatan, saya bisa temani kamu di sini atau ke rumah makan depan. Barangkali kamu butuh teman cerita sebelum kamu pulang dalam keadaan yang begini, 'kan?"

Seharusnya saya menolak. Sebab, laki-laki satu ini hanya mampir untuk menawarkan bantuan. Tetapi bahkan tanpa perkenalan apapun, saya sudah terlanjur jatuh hati. 

Bagian Kedua : Merasa Aman Adalah Wujud Cinta Paling Agung

Tiap pagi menjelang kau di sampingku
'Ku aman ada bersamamu

Kami berteman baik setelahnya. Nyaris setiap sore mengunjungi pantai untuk menikmati matahari yang menenggelamkan diri. Beberapa minggu sekali mengunjungi pameran lukisan favorit Hara. Lalu bertukar puisi dan menyimpannya dalam kotak berwarna abu-abu milik kami. 

Ah ya, namanya Hara Manendra, dua puluh dua tahun, tubunya dua puluh tiga cm lebih tinggi dari saya dengan rambut lurus yang selalu malas ia pangkas. Tahun kedua perkenalan kami, ia mengatakan telah menyukai saya jauh sebelum ia menyapa saya pertama kali. Tetapi setelahnya tidak ada kejelasan dari kami, selain pertemanan yang semakin erat.

"Saya ngerasa aman sama kamu," Suatu hari saya berkata kepadanya sembari mencoret-coret sketchbook yang selalu saya bawa setiap sore di pantai. "Terima kasih, ya."

Saya masih ingat sekali senyuman Hara hari itu. Tangannya mengelus kepala saya. Memang sejak hari ia menawarkan bantuan, Hara banyak menemani saya sampai hari ini saya berhasil mencapai satu per satu mimpi saya. "Sama-sama, Renjana. Saya senang kalau lihat kamu senang."

Tidak ada percakapan setelahnya selain senja yang mulai menaungi langit hari itu. Lalu kami kembali memasukkan puisi ke tujuh puluh tiga dalam kotak abu-abu milik kami. 

Bagian Ketiga : Akhir yang Menuju Selamanya

Tiga belas tahun sudah, masih tidak percaya anak perempuan berambut keriting ini tumbuh diantara saya dan Hara. Membesarkannya bersama, masih dengan kebiasaan-kebiasaan kami mengumpulkan puisi-puisi manis yang sesekali kami baca bersama-sama. 

Sedikit sulit bagi kami mengunjungi pameran lukisan kali ini karena lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nara di taman ujung jalan untuk menemaninya bermain ayunan. Sebagai gantinya, kami membangun ruangan kecil untuk kami yang isinya lukisan-lukisan abstrak serta beberapa lukisanku yang belum selesai. 

Sampai kita tua
Sampai jadi debu

"Saya bawakan ini untuk kamu." Dalam renunganku yang masih separuh tersenyum-senyum, Hara menyodorkan sebuket bunga favoritku. Bunga yang sering sekali ia hadiahkan, sampai-sampai beberapa diantaranya mulai layu dan coba saya akali dengan membingkainya.

"Terima kasih, ya." Saya memeluk Hara.

Ah ya, nama gadis kecil kami adalah Nara Manendra. Kami sepakat menamainya demikian karena serupa dengan nama kami, Renjana dan Hara. Selain dari itu, Nara dalam bahasa Yunani memiliki makna anak perempuan yang bahagia. Semoga gadis kecil kami selalu bahagia. 

'Ku di liang yang satu
Kau di sebelahku


***


Tulisan ini saya tulis di bulan April kemarin. Cerita singkat yang tidak hanya berdasarkan lagu favorit saya yaitu Sampai Jadi Debu - Banda Neira tetapi juga berdasarkan patah hati saya yang saya kemas dalam kisah romansa seperti ini. 

Lima tahun lebih saya jatuh hati kepada sahabat saya. Sosok laki-laki yang setiap harinya menceritakan perempuan yang ia sukai. Sakit memang. Tetapi aku selalu bersyukur mengenal dia. Tulisan ini juga sebagai tanda bahwa pada hari kemarin aku berhasil melepas perasaanku. Tidak ada yang bisa berubah dari kami. Selain menjadi sahabat. 


0 Post a Comment:

Posting Komentar